Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Materi Hakikat Manusia

TUGAS DASAR-DASAR KEPENDIDIKAN
HAKIKAT MANUSIA
 


Oleh : 
KELOMPOK 3 PFC 2019
Aimmatul Afifah 14030184019
Fajaria Meli S 14030184023
Alvin Rezkya N 14030184064



A. Sifat Hakiki Manusia
Memahami hakikat manusia menjadi keharusan. Oleh karena pendidikan bukanlah sekedar soal praktek melainkan praktek yang berlandasan dan bertujuan. Landasan dan tujuan pendidikan sifatnya filosofis normatif. Bersifat filosofis karena untuk mendapatkan landasan yang kukuh diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar. Bersifat normatif karena pendidikan mempunyai tugas untuk menumbuh kembangkan sifat hakiki manusia sebagai makhluk sosial. 
1. Pengertian Sifat Hakiki Manusia
Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri khas, yang membedakan manusia dari hewan. Meskipun antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya. Misalnya orang hutan, bertulang belakang seperti manusia, berjalan tegak dengan menggunakan kedua kakinya, melahirkan dengan menyusui anaknya, pemakan segala, dan adanya persamaan metabolisme dengan manusia. Bahkan beberapa filosof seperti Socrates menamakan manusia itu Zoon Politicon (hewan yang bermas yarakat), Max Scheller menggambarkan manusia sebagai dasar Kranke tier (hewan yang sakit) yang selalu gelisah dan bermasalah. Kenyataan dan pernyataan ini dapat menimbulkan kesan yang keliru, mengira bahwa hewan dan manusia itu hanya berbeda secara gradual, yaitu suatu perbedaan yang dengan melalui rekayasa dapat dibuat menjadi sama keadaanya, misalnya air karena perubahan
2. Wujud Sifat Hakiki Manusia
Pada bagian ini akan dipaparkan wujud sifat hakiki manusia (yang tidak dimiliki oleh hewan) yang dikemukan oleh paham eksistensialisme, dengan maksud menjadi masukan dalam membenahi konsep pendidikan yaitu
a. Kemampuan menyadari diri
Berkat adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia, maka manusia menyadari bahwa dirinya (akunya) memiliki ciri khas atau karakteristik diri. Hal ini menyebabkan manusia dapat membedakan dirinya dengan aku-aku yang lain(ia, mereka) dan dengan non-aku (lingkungan fisik) di sekitarnya. Bahkan bukan hanya dakan. tetapi lebih dari itu manusia dapat membuat jarak baik yang berupa pribadi maupun (distansi) dengan lingkungannya.
b. Kemampuan bereksistensi
Dengan keluar dari dirinya, dan dengan membuat jarak antara aku dengan objek, lalu melihat objek itu sebagai sesuatu, berarti manusia itu dapat menembus atau menerobOS dan mengatasi batas- batas yang membelenggu dirinya. bereksistenti inilah maka pada manusia terdapat unsur kebebasan. Jika seandainya pada diri manusia tidak terdapat kebebasan, maka manusia itu tidak lebih dari hanya sekedar "esensi belaka, artinya ada hanya sekedar "ber-ada" dan tidak pernah " mengada atau "ber-eksisitensi". Adanya kemampuan eksistensi inilah pula yang membedakan manusia sebagai makhluk infra human, di mana hewan menjadi onderdil dari lingkungan, sedangkan manusia menjau manajer lingkungannya
c. Pemilikan kata hati
Kata hati atau Conscience of Man juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, pelita hati, dan sebagainya. Kata hati atau "pelita hati atau "hati nurani adalah kemampuan manusia yang memberi penerangan tentang baik-buruk perbuatan sebagai manusia. Orang yang tidak memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk mengambil keputusan tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah atau dalam mengambil keputusan hanya dari sudut pandang tertentu (misalnya sudut kepentingan diri), dikatakan bahwa kata hatinya tidak cukup tajam.
d. Moral
Jika kata hati diartiakan sebagat bentuk pengertian yano menyertai perbuatan, maka yang dimaksud dengan moral (yang sering Juga disebut etika) adalah perbuatan itu sendiri.Di sini tampak bahwa masih ada jarak antara kata hati dengan moral. Artinya seorang yang telah memiliki kata hati yang tajam belum otomatis perbuatannva merupakan realisasi dari kata hatinya itu. Untuk menjembatani jarak yang mengantarai keduan ya masih ada aspek yang diperlukan yaitu kemauan. Bukankah banyak orang yang memiliki kecerdasan akal tetapi tidak cukup memiliki moral(keberanian berbuat). Itulah sebabnya maka pendidikan moral juga sernng disebut pendidikan kemauan., yang oleh Langeveld dinamakan De opvoedeing omzichzelfs wil. T entu saja yang dimaksud adalah  yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.
Dari uraian tersebut dapat  disimpulkan bahwa moral yang sinkron dengan kata hati yang tajam yaitu yang benar-benar baik bagimanusia sebagai manusia merupakan moral yang baik atau moral yang tinggi (luhur). Sebaliknya perbuatan yang tidak sikron dengan kata hati yang tajam maupun merupakan realisasi dari kata hati yang tumpul disebut moral yang buruk atau moral yang rendah (asor) atau lazim dikatakan tidak bermoral. Seseorang dikatakan bermoral tinggi karena ia menyatu-kan diri dengan nilai-nilai yang tinggi, serta segenap perbuatannya merupakan peragaan dari nilai-nilai yang tinggi tersebut. 
Etika biasanya dibedakan dari etiket. Jika moral (etika) menunjukkan kepada perbuatan yang baik/benar ataukah yang baik/salah, yang berperike-manusian atau yang jahat, maka etiket hanya berhubungan dengan soal sopan santun. Karena moral bertalian erat dengan keputusan kata hati, yang dalam hal ini berarti bertalian erat dengan nilai-nilai maka sesungguhnya moral itu adalah nilai-nilai kemanusiaan.
e. Kemampuan bertanggung jawab
Kesedian untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang pertanda dari sifat orang yang menuntut jawab, merupakan bertanggung jawab. Wujud bertanggung jawab bermacam-macam. Ada tanggung jawab kepada diri sendiri, tanggung jawab kepada masyarakat, dan tanggung jawab kepada Tuhan. Tanggung jawab kepada diri sendiri berarti menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan yang mendalam. Bertanggung jawab kepada masysrakat berarti menanggung tuntutan norma-norma sosial, bentuk tuntutannya berupa sanksi-sanksi sosial seperti cemoohan masyarakat, hukuman penjara, dan lain-lain. Bertanggung jawab kepada Tuhan berarti menanggung tuntutan norma-norma agama. Misalnya perasaan berdosa dan terkutuk. 
Di sini tampak betapa eratnya hubungan antara kata hati, moral, dan tanggung jawab. Kata hati memberi pedoman, moral melakukandan tanggung jawab merupakan kesedian  menerima kosekuensi dari per-buatan. Eratnya hubungan antara ketiganya itu terlihat dalam hal bahwa kadar kesedian bertanggung jawab itu tinggi apabila perbuatan sinkron dengan kata hati (yang dimaksud kata hati yang tajam). Itulah sebabnya orang yang melakukan sesuatu karena paksaan (bertentangan dengan kata hati) seiring tidak bersedia untuk memikul tanggung jawab atas akibat dari apa yang telah dilakukannya. 
Dengan demikian, tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan sesuai dengantuntutan kodrat manusia, dan bahwa hanya karena itu perbuatan tersebut dilakukan, sehingga sanksi apa pun yang dituntutkan (oleh kata hati, oleh masyarakat, oleh norma-norma agama), diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan. Dari uraian ini menjadi jelas betapa pentingnya pendidikan moral bagi peserta didik baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Langeveld membedakantanggung jawab moral dan tanggung jawab rasional. Bagi pendidikan orangtua tidak hanya dituntut tanggung jawab rasional, tetapi juga tanggung jawab moral
f. Rasa kebebasan (kemerdekaan);
Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu),  Kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya memang berlangsung dalam keterikatan. Artinya, bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia. Orang hanya mungkin merasakan adanya kebebasan batin apabila ikatan-ikatan yang ada telah menyatu dengan dirinya, dan menjIwai segenap perbuatannya. Dengan kata lain, ikatan luar (yang membelenggu) telah berubah menjadi ikatan dalam (yang menggerakkan). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa merdeka tidak sama dengan berbuat bebas tanpa ikatan. Perbuatan bebas membabi buta tanpa memperhatikan petunjuk kata hati, sebenarnya hanya merukapan kebcbasan semu, sebab hanya kelihatannya bebas. tetapi sebenarnya justru tidak bebas, karena perbuatan seperti itu segera disusul dengan sanksi-sanksinya. 
Dengan kata lain kebebsan demikian segera akan diburuh oleh ikatan-ikatan yang berupa sanksi-sanksi yang justru mengundang kegelisa-han. Itulah sebabnya seorang pembunuh yang habis membunuh (perbuatan bebas tanpa ikatan) biasanya berupaya mati- matian menyembunyikan diri (rasa tidak merdeka). Di sini terlihat bahwa kemerdekaan berkaitan erat dengan kata hati dan moral. Seseorang mengalanmi rasa merdeka apabila segenap perbuatannya (moralnya sesuai dengan apa yang dikatakan oleh kata hatinya-yaitu kata hati yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia, perbuatan seperti itu tidak sulit atau siap sedia untuk dipertanggung jawabkan dan tidak akan sedikit pun menimbulkan kekhawatiran (rasa ketidakmerdekaan). Implikasi pedagogisnya adalah sama dengan pen- didikan moral yaitu mengusahakan agar peserta didik dibiasakan mengidentifikasikan nilai-nilai, aturan-aturan ke dalam dirinyam. sehingga dirasakan sebagai miliknya. Dengan demikian atura-aturan itu tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang merintangi gerak hidupnya.
g. Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak
Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manitestasi dar1 manusia sebagai makhluk sosial. Yang satu ada hanya oleh karena adanya yang lain. Tak ada hak tanpa kewajiba Jika seseorang mempunyat hak untuk menutut sesuatu maka tentu ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut (yang pada saat itu belum dipenuhi). Sebaliknya kewajiban ada oleh karena ada pihak lain yang harus dipenuhi haknya. Pada dasarnya, hak itu adalah sesuatu yang masıh kosong. 
Artinya meskipun hak tentang sesuatu itu ada, belum tentu se- seorang mengetahuinya (misalnya hak memperoleh perlindungan hukum), meskipun sudah diketahui, belum tentu orang mau mempergunakannya (misalnya hak cuti tahunan), namun terlepas dari persoalan apakalh hak itu diketahui atau tidak, digunakan atau tidak dibalik itu tetap ada pihak yang berkewajiban untuk bersiap sedia memenuhinya. 
Kemampuan menghayati kewajiban sebagai keniscayaan tidaklah lahir dengan sendirinya, tetapi bertumbuh melalui suatu proses. Usaha menumbuhkembangkan rasa wajib sehingga dihayati sebagai suatu keniscayaan dapat ditempuh melalui pendidikan disiplin. Jika ada orang tua yang beranggapan bahwa pendidikan disiplin dan tanggung jawab belum sepantasnya diberikan, kepada anak-anak sejak balita adalah keliru. Benih-benih kedisiplinan dan rasa tanggung jawab seharusnya sudah mulai ditumbuhkembangkan sejak dini, bahkan sejak anak masih dalam ayunan, melalui latihan kebiasaan (habit forming) khususnya mengenai hal-hal yang nantinya bersifat rutin dan dibutuhkan di dalam kehidupan. Selo Soemardjan menyatakan bahwa disiplin meliputi empat aspek, yaitu:
1) Disiplin rasional, yang bila terjadi pelanggaran menimbulkan rasa salah.
2) Disiplin sosial. jika dilanggar menimbulakn rasa malu.
3) Disiplin afektif, jika dilanggar menimbulakan rasa gelisah.
4) Disiplin agama, jika terjadi pelanggaran menimbulkan rasa berdosa

h. Kemampuan menghayati kebahagiaan.
Penghayatan hidup yang disebut "kebahagiaan” ini meskipun tidak mudah untuk dijabarkan tetapi tidak sulit untuk dirasakan. Dapat diduga, bahwa hampir setiap orang pernah mengalami rasa balhagia. Untuk menjabarkan arti istilah kebahagiaan sehingga cukup jelas dipahami serta memuaskan semua pihak sesungguhnya tidak mudah. Kebahagiaan sering dihayati sebagai rasa: senang, gembira, bahagi1a, dan se-jumlah istilah lain yang mirip dengan itu. Sebagian orang mungkin meng-anggap bahwa seseorang yang sedang mengalami rasa Kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahir kehidupan manusia, senang atau gembira itulah sedang mengalanmi kebahagiaan.  Sebagian lagi menganggap bahwa rasa senang hanya merupakan aspek dari kebahagian, sebab kebahagian sifatnya lebih permanen dari pada perasaan senang yang sitatnya lebih temporer. Dengan kata lain kebahagian lebih merupakan integrasi atau rentetan dari jumlah kesenangan. Malah mungkin ada yang lebih jauh lagi berpendapat hahwa kebahagiaan tidak cukup digambarkan hanya sebagai himpunan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan saja, tetapi lebih dari itu merupakan  integrasi dari segenap kesenagan, Kegembiraan, kepuasan dan seienisnya dengan pengalamalpgdlaan pahit dan penderitaan. 
Manusia yang menghayati kebahagiaan adalah pribadi manusia dengan segenap keadaan dan lingkungannya. Manusia menghayati kebahagiaan apabila jiwanya bersih dan stabil, jujur, bertanggung jawab, mempunyai pandangan hidup dan keyakinan hidup yang kukuh dan bertekad untuk merealisasikan dengan cara yang realistis demikian dengan Max Scheler (Drijarkara, 1978: 137-1400). Di samping itu, keribadian harus serasi dan berimbang. Antara segenap aspek kepribadian terdapat perimbangan yang selaras. Begitu Juga antara kemampuan rohani dan jasmani, antara cipta, rasa, dan karsa, antara cita-cita dengan kemampuan mencapainya, antara kemampuan berikhtiar dengan kesediaan menerima hasilnya. Jiwa bersih stabil dan ke-pribadian yang selaras membuka yang kemungkinan bagi terciptanya suasana hidup penuh kedamaian. Pendidikan dapat dimanipulasikan untuk membina terbentuknya kepribadian yang demikian.

B. Dimensi Hakikat Manusia Potensi, Keunikan, dan Dinamikanya. 
Sebelumnya telah diuraikan sifat hakikat manusia. Pada bagian ini sifat hakikat tersebut akan dibahas lagi dimensi-dimensinya atau ditilik dari sisi lain. Ada 4 macam dimensi yang akan dibahas, yaitu:
1. Dimensi Keindividualan
2. Dimensi Kesosialan
3. Dimensi Kesusilaan
4. Dimensi Keberagamaan

1. Dimensi Keindividualan
Lysen mengartikan individu sebagai “orang-orang”.  Sesuatu yang merupakan suatu keuntungan yang tidak dapat dibagi-bagi (indevide). Selanjutnya individu diartikan sebagai pribadi. Setiap anak manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari yang lain, atau menjadi (seperti) dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang identik di muka bumi ini.
2. Dimensi kesosialan
Adanya dimensi kesosisalan pada diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya. Betapa kuatnyaa dorongan tersebut sehingga bila dipenjarakan merupakan hukuman yang paling berat dirasakan oleh manusia, karena dengan diasingkan di dalam penjara berarti diputuskannya dorongan bergaul tersebut secara mutlak. Masih banyak contoh-contoh lain yang menunjukkan betapa dorongan sosialitas tersebut demikian kuat. Bukankan tidak ada orang yang dapat hidup tanpa bantuan orang lain? Kenyataan ini tidak hanya berlaku pada bayi yang belum berdaya. Bantuan dari orang lain itu tetap diperlukan pada masa anak, remaja, setelah dewasa. Bahkan sampai kepada sisa-sisa usia dalam kehidupan seseorang. 
3. Dimensi Kesusilaan
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan tetapi, di dalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas jika di dalam yang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung. Karena itu maka pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah yang mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan) Kedua hal tersebut biasanya dikaitkan dengan persoalan hak dan kewajiban. Orang yang berbuat jahat berarti melanggar hak orang lain dan dikatakan tidak beretika atau tidak bermoral. Sedangkan tidak sopan diartikan sebagai tidak beretiket. Jika eitka dilanggar ada orang lain yang merasa dirugikan, sedangkan pelanggaran etiket hanya mengakibatkan ketidaksenangan orang lain.
4. Dimensi keagamaan
Pada hakekatnya manusia adalah makhluk religius. Sejak dahulu kala, sebelum manusia mengenal agama mereka telah percaya di luar alam yang dapat dijangkau dengan perantara alat indra. Diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang menguasai hidup alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan diri kepada kekuatan tersebut diciptakanlah mitoS-mitos. Misalnya untuk meminta sesuatu dari kekuatan-kekuatan tersebut dilakukan bermacam-macam upacara, menyediakan sesajen-sesajen dan memberikan korban-korban. Sikap dan kebiasaan yang membudaya pada nenek moyang seperti itu dipandang sebagai embrio dari kehidupan manusia dalam beragama. 
Kemudian setelah ada agama manusia mulai menganutnya. Beragama merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertikal manusia. Manusia dapat menghayati agama melalui proses pendidikan agama. 
Kohnstamn berpendapat bahwa pendidikan agama seyogyanya menjadi tugas orang tua dalam lingkungan keluarga, karena pendidikan agama adalah persoalan afcktif dan kata hati. Pesan-pesan agama harus tersalur dari hati ke hati. Terpancar dari ketulusan serta kesungguhan hati orang tua dan menembus ke anak. Dalam hal ini orang tualah yang paling cocok sebagai pendidik karena ada hubungan darah dengan anak. Di sini pendidikan agama yang diberikan secara masal kurang sesuai (Thayeb, 1972: 14-15).